Untuk kali kesekian di bulan Juli, lava meluapkan murkanya.
Lahar panas meleleh dibibir manisnya, mengguncang hati kala luapan tak tertahankan. Menumpuk hingga mengerupsi kesabaran. Menyusup keluar menyuamkan muara air mata, mencairkan dan membasahi dipelupuknya. Mengaliri bukit kekesalan, melewati kaki gunung hingga menjamah ke lubuk lembah gelisah.
Lereng terjal tak sanggup menjegal muntahan kerikil tajam dari mulutnya.
Kabut asap pekat mengaburkan logikanya.
Serpihan abu mengotori bening hatinya.
Bara emosi kian membakar perasaan yg panasnya menghanguskan lalu mengemulsi cinta dan benci membentuk kawah triwarna:
Merah,
untuk kesabaran yg menyerah, pasrah, lelah akan amarah, terserah.
Hitam,
untuk benci yg naik pitam, menghantam tembok mataram, ambrul tenggelam begitu dalam.
Putih,
untuk kesucian cinta yg tak letih mengawal tuk setia gigih tiada beralih, sedia kokoh menjadi sandaran hati yg luput dr noda pengkhianatan yg mengusik dalam lirih.
Perjalanan lava dr hulu senantiasa berakhir di hilir.
Dimana ia kan menyatu dengan air, sebagian membatu dan menjelma pasir.
Ia kan mengalir berpadu dengan ombak menghempas tebing pantai. Ia kan mengeras menjadi alas penghias terasteras istana. Ia kan menjadi bagian gedung menjulang pencakar langit. Ia kan menjadi bagian keluarga sebuah rumah, menjadi bagian agung gedung2 sekolah, menjadi perekat batu nisan dipersemayaman keramat, jg menjadi saksi pelakon korupsi dibalik jeruji besi.
Tanah basah yg terus menangisi gemburnya ketulusan dibanjiri keegoisan lava, perlahan akan menumbuhkan kembali pohon pengertian yg tumbang tersapu terjangan lava yg berang. Kelak batangnya menetaskan ranting kepercayaan. Tiap ranting yg hdp akn melahirkan daun kebahagian yg rindang. Walau akan layu, kuyu tertiup angin lalu, akan tergantikan dgn tunas kebahagiaan baru.
Dan gunung pun akan memugar konstruksi emosi agar hidup serasi tanpa eksepsi.
Lahar panas meleleh dibibir manisnya, mengguncang hati kala luapan tak tertahankan. Menumpuk hingga mengerupsi kesabaran. Menyusup keluar menyuamkan muara air mata, mencairkan dan membasahi dipelupuknya. Mengaliri bukit kekesalan, melewati kaki gunung hingga menjamah ke lubuk lembah gelisah.
Lereng terjal tak sanggup menjegal muntahan kerikil tajam dari mulutnya.
Kabut asap pekat mengaburkan logikanya.
Serpihan abu mengotori bening hatinya.
Bara emosi kian membakar perasaan yg panasnya menghanguskan lalu mengemulsi cinta dan benci membentuk kawah triwarna:
Merah,
untuk kesabaran yg menyerah, pasrah, lelah akan amarah, terserah.
Hitam,
untuk benci yg naik pitam, menghantam tembok mataram, ambrul tenggelam begitu dalam.
Putih,
untuk kesucian cinta yg tak letih mengawal tuk setia gigih tiada beralih, sedia kokoh menjadi sandaran hati yg luput dr noda pengkhianatan yg mengusik dalam lirih.
Perjalanan lava dr hulu senantiasa berakhir di hilir.
Dimana ia kan menyatu dengan air, sebagian membatu dan menjelma pasir.
Ia kan mengalir berpadu dengan ombak menghempas tebing pantai. Ia kan mengeras menjadi alas penghias terasteras istana. Ia kan menjadi bagian gedung menjulang pencakar langit. Ia kan menjadi bagian keluarga sebuah rumah, menjadi bagian agung gedung2 sekolah, menjadi perekat batu nisan dipersemayaman keramat, jg menjadi saksi pelakon korupsi dibalik jeruji besi.
Tanah basah yg terus menangisi gemburnya ketulusan dibanjiri keegoisan lava, perlahan akan menumbuhkan kembali pohon pengertian yg tumbang tersapu terjangan lava yg berang. Kelak batangnya menetaskan ranting kepercayaan. Tiap ranting yg hdp akn melahirkan daun kebahagian yg rindang. Walau akan layu, kuyu tertiup angin lalu, akan tergantikan dgn tunas kebahagiaan baru.
Dan gunung pun akan memugar konstruksi emosi agar hidup serasi tanpa eksepsi.
No comments:
Post a Comment