Desiran angin terdengar lirih menyipak lembut rambut kusut, terpaut baut terbalut rajut lumut berkalut, mulut diam tersulut bungkam menambah lengang kesunyian malam nirtemarang.
Aku, Senin, terbawa angin.
Membebaskan retina dibias rona warna pena mencerna makna hiragana, suasana laksana tektona merona pipi durjana, sesaat Rusdiana mempesona diatas pelana.
Aku, Selasa, belajar bahasa.
Terhanyut disudut utara timur laut surut, merenggut urat-urat pesut berdenyut, turut mengerut siput berlutut, berlendir, khawatir secangkir jamuan padang pasir, mangkir mengusir kejemuan berladang kasih sayang, berlabuh di Monas untuk berdinas.
Aku, Rabu, sedikit kelabu.
Sebongkah es mencair membasahi pelupuk atmosfir mengalir ke hilir bumi menjelma tangisan mumi, belasan kodok berirama menyambut lesung kembali menggaung, menyayat kulit benih merintih saat sawah bergairah menguburnya dalam tanah bersimbah darah yg tidak merah, rintik air detik terakhir memasung niat yg sebelumnya membahana mengingat sulitnya katakana.
Aku, Kamis, hujan gerimis.
Waktu seakan membatu, agak malu atau terkesan pilu, berjalan merangkak sesekali merondang, namun tercengang hingga berontak, mendapati detiknya berlari menghindari menit yang seakan genit, menghantarkan salam kepada si jam, untuk padam lebam tenggelam.
Aku, Jumat, tak bersemangat.
Menorehkan gincu diatas senyum berkembang yg terpantul cermin terpajang, merefleksikan kegiuran sukacita yg tertahan penjara waktu dengan penjagaan kesibukan maksimum superketat, membebaskan kerinduan tanpa remisi, mengobarkan amunisi gelora asmara, menghempaskan evolusi rasa, menggemparkan galaksi, berotasi, merealisasi fantasi dunia imajinasi manusia.
Aku, Sabtu, Menjadi satu.
Tak ada yg terlukiskan, terfikirkan, terucapkan, terdengar, terlihat, terasa, tertoreh, tertulis, tersirat, terbayang, terkenang, hanya ada itu yang terungkapkan dan membuat semua terdiam.
Aku, Minggu, selalu terganggu.
Aku, Senin, terbawa angin.
Membebaskan retina dibias rona warna pena mencerna makna hiragana, suasana laksana tektona merona pipi durjana, sesaat Rusdiana mempesona diatas pelana.
Aku, Selasa, belajar bahasa.
Terhanyut disudut utara timur laut surut, merenggut urat-urat pesut berdenyut, turut mengerut siput berlutut, berlendir, khawatir secangkir jamuan padang pasir, mangkir mengusir kejemuan berladang kasih sayang, berlabuh di Monas untuk berdinas.
Aku, Rabu, sedikit kelabu.
Sebongkah es mencair membasahi pelupuk atmosfir mengalir ke hilir bumi menjelma tangisan mumi, belasan kodok berirama menyambut lesung kembali menggaung, menyayat kulit benih merintih saat sawah bergairah menguburnya dalam tanah bersimbah darah yg tidak merah, rintik air detik terakhir memasung niat yg sebelumnya membahana mengingat sulitnya katakana.
Aku, Kamis, hujan gerimis.
Waktu seakan membatu, agak malu atau terkesan pilu, berjalan merangkak sesekali merondang, namun tercengang hingga berontak, mendapati detiknya berlari menghindari menit yang seakan genit, menghantarkan salam kepada si jam, untuk padam lebam tenggelam.
Aku, Jumat, tak bersemangat.
Menorehkan gincu diatas senyum berkembang yg terpantul cermin terpajang, merefleksikan kegiuran sukacita yg tertahan penjara waktu dengan penjagaan kesibukan maksimum superketat, membebaskan kerinduan tanpa remisi, mengobarkan amunisi gelora asmara, menghempaskan evolusi rasa, menggemparkan galaksi, berotasi, merealisasi fantasi dunia imajinasi manusia.
Aku, Sabtu, Menjadi satu.
Tak ada yg terlukiskan, terfikirkan, terucapkan, terdengar, terlihat, terasa, tertoreh, tertulis, tersirat, terbayang, terkenang, hanya ada itu yang terungkapkan dan membuat semua terdiam.
Aku, Minggu, selalu terganggu.
No comments:
Post a Comment