Dia buta dengan arah, arah dimana gurun pasir terhempas keping ilalang yang mengeras batang hatinya, tercuci fatamorgana kolam dalam, begitu dalam menenggelamkan mata angin sehingga ia buta, begitu seperti yang dikutip angin ketika terbawa arah yang marah membisik di telingaku, telinga aku yang adalah dia,,
dia atau adalah aku yang tak tahu arah tak tahu serta apa yang harus diperah dari semua peristiwa yang bertandang di tenda ruang tunggu pada suatu waktu zaman batu, zaman dimana semua perkakas diselimuti debu yang mengotori fungsi dan aku mulai sangsi atas kekerasan hati yang meranggas ketika zaman es mencair dan mendinginkan kesepian itu. Kesepian yang minta dirangkul oleh pelukku.
Entah aku ini kemana, dimana benda yang aku mau dan apa bentuknya? Atau mungkin bagaimana tujuannya? Aku tidak mampu mencerna teka-teki yang membuatku tersedak dan tersangkut dikerongkongan yang menanti ditelan atau dimuntahkan,, aku tidak paham menterjemahkan makna yang tersembunyi dibalik iris mata ini yang membuat pupil membesar dan menghalangi pandangan ini, pandangan akan masa depan oleh bayangan masa lalu.
Apa yang dirasakan oleh bintang ketika malam tertahan oleh siang yang panjang?
Apakah pelangi sudi menunggu datangnya badai yang memporak-porandakan ketenangan, membanjiri kedamaian agar ia muncul menyusul sore sebelum senja menjelang?
Biarkan matahari terbit di timur dan terbenam di barat, yang menerbitkan keceriaan dan membenamkan kemurungan,, yang diusung oleh burung camar yang tersamar oleh goresan oranye muda di ufuk kejora itu.
No comments:
Post a Comment